Aneka Jateng – Sejarah Kasunanan Surakarta bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan jejak hidup yang masih terasa hingga kini dalam denyut nadi kebudayaan Jawa. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di Pulau Jawa, nama Surakarta tidak bisa dilepaskan dari identitas budaya yang kental, adat istiadat yang terjaga, serta keraton yang masih berdiri megah meski zaman telah berganti.
Di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang begitu deras, Sejarah Kasunanan Surakarta menjadi jangkar yang menambatkan masyarakat pada akar tradisi dan sejarah bangsa. Memahami sejarah ini bukan hanya soal mengenang masa lalu, tetapi juga soal memahami siapa kita hari ini.
Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah kelanjutan dari Kesultanan Mataram yang terpecah karena berbagai konflik internal dan pengaruh kolonial. Dari sinilah, sejarah Kasunanan Surakarta mulai terbentuk sebagai entitas politik dan budaya yang memiliki peran penting dalam perkembangan sejarah Indonesia, khususnya Jawa Tengah.
Dengan berdirinya keraton di Surakarta pada tahun 1745, kisah panjang dan kompleks kerajaan ini pun dimulai. Mari kita telusuri lebih jauh bagaimana sejarah Kasunanan Surakarta membentuk wajah budaya dan identitas Jawa hingga saat ini.
Awal Mula Berdirinya Kasunanan Surakarta
Sejarah Kasunanan Surakarta bermula dari runtuhnya pusat pemerintahan Kesultanan Mataram di Kartasura akibat berbagai pemberontakan, terutama Geger Pacinan yang terjadi pada tahun 1742. Peristiwa ini menjadi titik balik yang mengubah jalur sejarah kerajaan Mataram. Susuhunan Pakubuwana II, yang saat itu menjadi raja, terpaksa meninggalkan Kartasura karena kondisi keraton yang hancur dan tidak lagi layak huni. Dalam suasana genting itu, beliau memutuskan membangun pusat pemerintahan baru di Desa Sala, yang kini dikenal sebagai Surakarta. Dari keputusan tersebut, sejarah Kasunanan Surakarta resmi dimulai, menjadikannya sebagai pewaris sah tahta Mataram.
Pendirian ibu kota baru di Surakarta bukan hanya bersifat administratif, tetapi juga strategis. Lokasinya yang relatif aman dan strategis dari segi pertahanan menjadi pilihan tepat di tengah kondisi politik yang tidak menentu. Dalam sejarah Kasunanan Surakarta, perpindahan ini menjadi simbol kelahiran kembali kekuasaan Mataram dalam bentuk yang lebih stabil. Istana yang dibangun, yaitu Keraton Surakarta Hadiningrat, menjadi pusat pemerintahan baru sekaligus simbol legitimasi kekuasaan raja-raja Mataram yang tetap bertahan meski mengalami berbagai tekanan.
Namun, kestabilan yang diharapkan tak bertahan lama. Sejarah Kasunanan Surakarta mencatat bahwa dalam waktu satu dekade setelah berdiri, kerajaan ini kembali mengalami tekanan politik yang besar akibat adanya ketidaksepakatan dalam tubuh kerajaan Mataram. Hal ini memicu peristiwa penting bernama Perjanjian Giyanti yang akhirnya memecah Mataram menjadi dua wilayah kekuasaan: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Baca Juga : Keunikan Dialek Bahasa Jawa di Berbagai Wilayah Jawa Tengah
Dampak Perjanjian Giyanti terhadap Kasunanan Surakarta
Salah satu momen paling bersejarah dalam sejarah Kasunanan Surakarta adalah Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini menandai pembagian wilayah Kesultanan Mataram menjadi dua pemerintahan, yakni Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Pakubuwana III dan Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I. Ini bukan hanya pembagian wilayah secara geografis, tetapi juga pembelahan kultural dan politik yang cukup signifikan dalam sejarah Kasunanan Surakarta.
Perjanjian ini merupakan hasil intervensi dari VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang memainkan peran sebagai mediator sekaligus pengontrol politik lokal saat itu. Dalam sejarah Kasunanan Surakarta, perjanjian ini merupakan bentuk kompromi untuk meredam konflik berkepanjangan antara para bangsawan dan keluarga kerajaan yang saling bersaing merebut kekuasaan. Walaupun menyebabkan kerajaan menjadi lebih kecil secara wilayah, Kasunanan Surakarta tetap mempertahankan statusnya sebagai pewaris budaya Mataram.
Namun, dampak dari perjanjian ini cukup besar. Sejarah Kasunanan Surakarta mencatat bahwa kepercayaan rakyat terhadap stabilitas kerajaan mulai memudar. Adanya dua pusat kekuasaan yang berdiri berdampingan menciptakan dinamika politik baru. Apalagi dengan hadirnya Mangkunegaran melalui Perjanjian Salatiga pada tahun 1757, wilayah Kasunanan Surakarta makin mengecil. Wilayah kekuasaan Susuhunan menjadi semakin terbatas, namun secara budaya dan simbolis, pengaruhnya tetap terasa luas.
Baca Juga : Melacak Jejak Majapahit di Jawa Tengah
Masa Kolonial, Antara Perjuangan dan Penyesuaian
Memasuki era kolonial, sejarah Kasunanan Surakarta memasuki babak baru yang penuh tantangan. Kasunanan Surakarta berada di bawah kendali kolonial Hindia Belanda dan harus menjalankan pemerintahan yang tunduk pada pengawasan pemerintah kolonial. Meskipun demikian, kerajaan ini masih mempertahankan struktur bangsawan dan adat istiadatnya. Dalam sejarah Kasunanan Surakarta, masa kolonial menjadi waktu di mana kebudayaan Jawa tetap dijaga, meskipun ruang geraknya terbatas oleh kepentingan politik penjajah.
Susuhunan yang memerintah harus bersikap hati-hati agar tidak memicu konflik dengan pihak Belanda. Banyak strategi kompromi dilakukan agar keberlangsungan kerajaan tetap terjaga. Sejarah Kasunanan Surakarta mencatat berbagai upaya raja-raja Surakarta dalam menjaga hubungan diplomatik dengan kolonial, meskipun sering kali harus mengorbankan kedaulatan penuh atas wilayahnya. Namun di sisi lain, masa ini juga menjadi momen penting bagi berkembangnya seni dan budaya Jawa yang dilindungi oleh keraton.
Keraton Surakarta tetap aktif dalam melestarikan berbagai bentuk kesenian seperti tari-tarian klasik, gamelan, dan upacara adat. Sejarah Kasunanan Surakarta menunjukkan bahwa meski secara politik kerajaan ini dibatasi, secara budaya justru semakin berkembang sebagai pusat kebudayaan Jawa yang dihormati hingga kini.
Pasca Kemerdekaan dan Transformasi Politik
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, sejarah Kasunanan Surakarta kembali mengalami perubahan besar. Pada 1 September 1945, Susuhunan Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat bahwa Kesunanan Surakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia sebagai daerah istimewa. Langkah ini menunjukkan dukungan aktif kerajaan terhadap kemerdekaan Indonesia, sekaligus upaya mempertahankan eksistensinya dalam sistem negara yang baru.
Namun, sejarah Kasunanan Surakarta mencatat bahwa status sebagai daerah istimewa tidak bertahan lama. Ketidakstabilan politik serta munculnya gerakan rakyat anti-feodalisme menyebabkan status istimewa tersebut dibekukan pada tahun 1946. Wilayah Surakarta kemudian dijadikan sebagai Karesidenan di bawah Provinsi Jawa Tengah, dan sejak tahun 1950, Kasunanan Surakarta tidak lagi memiliki kekuasaan politik formal dalam struktur pemerintahan negara Indonesia.
Meski tidak lagi memegang kekuasaan administratif, sejarah Kasunanan Surakarta tetap berlanjut sebagai simbol budaya. Peran keraton berubah menjadi pusat pelestarian tradisi, adat, dan seni budaya Jawa. Hingga kini, keraton Surakarta masih menjadi tempat penting bagi pelaksanaan upacara adat, kegiatan budaya, dan wisata sejarah yang mengundang minat banyak pengunjung, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kasunanan Surakarta Hari Ini, Simbol Budaya yang Terus Hidup
Meskipun secara politik tidak lagi berdaulat, sejarah Kasunanan Surakarta tetap hidup dalam keseharian masyarakat. Keraton Surakarta masih berdiri kokoh dan menjadi pusat kegiatan budaya yang aktif. Festival keraton, pertunjukan wayang, dan pagelaran gamelan masih digelar secara rutin dan menjadi daya tarik wisata budaya yang kuat. Dalam sejarah Kasunanan Surakarta, peran keraton sebagai penjaga nilai-nilai budaya Jawa tetap dipegang teguh oleh para pewaris tahta.
Kini, sejarah Kasunanan Surakarta menjadi sumber edukasi dan inspirasi, terutama bagi generasi muda yang ingin mengenal lebih dalam tentang akar budaya mereka. Sekolah-sekolah, komunitas budaya, dan peneliti sejarah terus merujuk pada perjalanan panjang kerajaan ini untuk mempelajari dinamika sosial-politik dan budaya yang pernah terjadi di Jawa. Bahkan, dalam konteks kekinian, sejarah Kasunanan Surakarta bisa menjadi pelajaran penting mengenai cara beradaptasi di tengah perubahan zaman tanpa kehilangan identitas.
Baca Juga : Memahami Tradisi dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa Tengah
Di era digital saat ini, banyak dokumentasi tentang sejarah Kasunanan Surakarta diangkat kembali dalam bentuk film, buku, podcast, hingga media sosial. Upaya ini penting untuk menjaga agar nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sejarah tersebut tetap hidup, relevan, dan bisa menjadi bekal untuk menghadapi masa depan yang semakin kompleks.
Menelusuri sejarah Kasunanan Surakarta bukan hanya membuka lembaran sejarah sebuah kerajaan, tetapi juga membuka cakrawala tentang bagaimana sebuah bangsa membentuk identitas budayanya melalui peristiwa-peristiwa penting. Dari pendirian keraton, perjanjian politik yang membelah kerajaan, masa kolonial, hingga perjuangan pasca kemerdekaan, semuanya menjadi bagian dari narasi besar sejarah bangsa Indonesia.
Sejarah Kasunanan Surakarta adalah kisah ketangguhan, kebijaksanaan, dan cinta pada budaya yang tidak lekang oleh waktu. Ia adalah cermin dari semangat Jawa yang halus tapi tegas, penuh adat tapi tetap terbuka, serta tradisional namun tak anti-kemajuan. Melalui pemahaman yang utuh tentang sejarah ini, kita sebagai bangsa bisa lebih menghargai dan merawat warisan leluhur sebagai kekuatan dalam membangun masa depan yang lebih berakar dan bermartabat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Komunitas Aneka Jateng