Aneka Jateng – Keraton Surakarta bukan hanya sekadar bangunan bersejarah yang indah di Jawa Tengah, melainkan juga simbol kekuatan, kearifan, dan kebangkitan sebuah kerajaan besar di masa lalu. Keberadaannya hingga kini masih menjadi pusat budaya Jawa yang sarat makna, penuh nilai filosofis, dan menyimpan kisah luar biasa di balik proses pendiriannya.
Salah satu cerita paling monumental dalam sejarah Jawa adalah proses pemindahan keraton dari Kartasura ke Sala, yang kemudian dikenal sebagai Surakarta Hadiningrat. Artikel ini akan mengupas secara lengkap dan mudah dipahami bagaimana dan mengapa pemindahan itu terjadi, serta apa dampaknya terhadap perkembangan Keraton Surakarta hingga sekarang.
Latar Belakang Pemindahan Keraton
Sejarah mencatat bahwa sebelum Keraton Surakarta berdiri megah seperti sekarang, pusat kekuasaan kerajaan Mataram berada di Kartasura. Namun, nasib Kartasura berubah drastis akibat serbuan pemberontak pada tahun 1742. Pemberontakan yang menyebabkan kerusakan hebat itu membuat para tokoh kerajaan menganggap bahwa bangunan Keraton Kartasura telah “tercemar” secara spiritual dan tidak lagi layak menjadi pusat pemerintahan. Dari sinilah gagasan untuk membangun Keraton Surakarta mulai muncul sebagai solusi pemulihan martabat kerajaan.
Keraton Surakarta lahir dari keputusan strategis yang dibuat oleh Susuhunan Pakubuwana II. Beliau merasa bahwa untuk menyelamatkan kelangsungan kerajaan, diperlukan sebuah tempat baru yang tidak hanya aman secara fisik, tetapi juga bersih dari aura negatif akibat tragedi di Kartasura. Oleh karena itu, beliau memerintahkan sejumlah tokoh penting seperti Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan Belanda J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi yang tepat bagi pusat pemerintahan baru. Dalam proses ini, mereka akhirnya memilih sebuah desa bernama Sala, yang terletak di tepi Bengawan Solo.
Pilihan terhadap Desa Sala bukan tanpa alasan. Lokasi ini dinilai sangat strategis karena berada dekat dengan aliran sungai besar, yaitu Bengawan Solo. Selain itu, Desa Sala juga dinilai memiliki nilai spiritual yang tinggi dalam pandangan kepercayaan Jawa. Semua hal ini kemudian menjadi dasar kuat untuk membangun Keraton Surakarta, yang kelak menjadi pusat kebudayaan dan pemerintahan Kesunanan Surakarta Hadiningrat.
Alasan Kuat di Balik Pemilihan Desa Sala Sebagai Lokasi Baru
Keraton Surakarta dibangun di Desa Sala atas pertimbangan yang sangat matang, tidak hanya dari segi geografis, tetapi juga spiritual dan politis. Salah satu tokoh kunci dalam proses pemilihan ini adalah Raden Tumenggung Hanggawangsa, seorang ahli nujum yang sangat dipercaya oleh kerajaan. Menurut perhitungannya, lokasi baru di Sala akan membawa keberuntungan, ketentraman, dan kemakmuran bagi kerajaan, meskipun luas kekuasaan yang dimiliki tidak sebesar sebelumnya. Ini menjadi harapan besar bagi masa depan Keraton Surakarta yang akan dibangun.
Baca Juga : Menelusuri Sejarah Kasunanan Surakarta, Warisan Budaya Jawa yang Tak Tergantikan
Selain itu, Desa Sala terletak di kawasan strategis yaitu dekat dengan tempuran atau pertemuan dua sungai—Sungai Pepe dan Bengawan Solo. Dalam pandangan mistik Jawa, tempuran dianggap sebagai tempat keramat yang memiliki kekuatan magis. Hal ini dipercaya bisa membawa berkah dan perlindungan bagi kerajaan yang akan berdiri di sana. Oleh karena itu, pemilihan Desa Sala sebagai tempat berdirinya Keraton Surakarta juga dilandasi oleh keyakinan spiritual masyarakat Jawa yang kuat.
Tak kalah penting, letak geografis Desa Sala yang dekat dengan Bengawan Solo juga menawarkan keuntungan besar dari sisi ekonomi dan militer. Bengawan Solo sudah sejak lama menjadi jalur penting penghubung antara wilayah Jawa bagian tengah dan timur. Dengan membangun Keraton Surakarta di lokasi ini, kerajaan dapat memanfaatkan sungai tersebut untuk transportasi logistik, pertahanan, serta hubungan dagang dengan daerah-daerah lain. Bahkan, hingga abad ke-19, jalur sungai tetap lebih aman dan efisien dibandingkan jalur darat.
Kemudahan Pembangunan Keraton di Lokasi Baru
Keunggulan lain dari Desa Sala yang menjadikannya pilihan utama pembangunan Keraton Surakarta adalah statusnya sebagai pemukiman yang sudah ramai. Karena Desa Sala bukanlah wilayah hutan belantara, pembangunan keraton tidak memerlukan tenaga besar untuk membuka lahan. Ini sangat menghemat waktu dan sumber daya, mengingat urgensi yang dihadapi oleh kerajaan untuk segera memindahkan pusat pemerintahan dari Kartasura yang sudah tidak aman.
Selain Desa Sala, terdapat pula desa-desa lain di sekitarnya seperti Semanggi, Baturana, dan Gabudan yang telah dikenal sejak masa Kartasura. Desa-desa ini dihuni oleh abdi dalem yang memiliki keahlian khusus, misalnya pembuat babud atau permadani untuk keperluan keraton. Kehadiran komunitas ini tentunya sangat mendukung proses pembangunan Keraton Surakarta karena kebutuhan logistik dan perlengkapan bisa segera dipenuhi.
Baca Juga : Mengungkap Misteri Lubang Hitam, Fenomena Luar Angkasa yang Penuh Teka-Teki
Faktor politik juga turut menjadi pertimbangan penting. Pemerintah VOC (Belanda) yang kala itu memiliki pengaruh besar di Jawa, sangat mendukung pemindahan keraton ke tempat yang lebih mudah dijangkau dari Semarang. Hal ini akan memudahkan pengiriman bala bantuan dan pengawasan dari pihak kolonial terhadap pemerintahan kerajaan. Oleh karena itu, Keraton Surakarta dibangun bukan hanya atas dasar pertimbangan tradisional, tetapi juga pertimbangan modern dan geopolitik saat itu.
Prosesi Pemindahan Keraton
Pemindahan pusat kekuasaan dari Kartasura ke Keraton Surakarta bukanlah sekadar perpindahan fisik, melainkan prosesi besar yang disusun secara sakral dan penuh simbolisme. Atas perintah Susuhunan Pakubuwana II, proses ini dirancang oleh Tumenggung Secayudha dan Kyai Ageng Derpayudha, yang menetapkan urutan-urutan ritual serta pengaturan teknis perjalanan menuju lokasi baru. Ini bukan sembarang perjalanan, melainkan peristiwa sejarah yang kelak dikenang sebagai awal mula berdirinya Surakarta Hadiningrat.
Prosesi pemindahan dilakukan pada hari Rabu Pahing, tanggal 17 Sura tahun Jawa 1670 atau bertepatan dengan 20 Februari 1745. Dalam Babad Giyanti I, peristiwa ini disebutkan dengan candra sengkala “Kumbuling Pudya Kapyarsih ing Nata”, yang menandai momentum penting dalam sejarah Keraton Surakarta. Susuhunan dan rombongan kerajaan berjalan dari Kartasura menuju Desa Sala dengan membawa berbagai perlengkapan kerajaan, simbol-simbol kekuasaan, serta benda pusaka.
Setibanya di lokasi baru, Susuhunan Pakubuwana II langsung meresmikan pembangunan Keraton Surakarta. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, bangunan keraton mulai berdiri megah, menjadi simbol dari era baru yang penuh harapan. Desa Sala pun secara resmi diubah namanya menjadi Surakarta Hadiningrat. Perubahan nama ini tidak hanya menggambarkan pergeseran geografis, tetapi juga semangat baru untuk menciptakan kerajaan yang lebih kuat, bersih dari sejarah kelam, dan siap menghadapi masa depan.
Makna Filosofis di Balik Nama “Surakarta Hadiningrat”
Penamaan Surakarta bukan keputusan sembarangan. Dalam bahasa Jawa, kata “sura” berarti keberanian, sedangkan “karta” berarti kemakmuran atau kesempurnaan. Dengan demikian, Keraton Surakarta dimaknai sebagai tempat berkumpulnya orang-orang pemberani yang berjuang demi kemakmuran negeri. Pemilihan nama ini sekaligus menjadi bentuk perlawanan simbolik terhadap masa lalu kelam di Kartasura, sekaligus harapan untuk masa depan yang cerah.
Lebih jauh lagi, Keraton Surakarta menjadi lambang dari pemulihan martabat kerajaan Jawa yang sempat tercoreng oleh pemberontakan. Dengan membalik nama dari “Kartasura” menjadi “Surakarta”, kerajaan seolah ingin menghapus memori negatif sekaligus membangun identitas baru yang lebih kuat dan berwibawa. Ini adalah langkah simbolis dan strategis yang sangat penting dalam sejarah Jawa.
Sejak saat itu, Keraton Surakarta tidak hanya menjadi tempat tinggal raja dan pusat pemerintahan, tetapi juga pusat budaya, spiritualitas, dan warisan leluhur. Bahkan hingga hari ini, Keraton Surakarta tetap aktif dalam menjalankan upacara-upacara adat, menjadi destinasi wisata sejarah, serta menjaga warisan budaya Jawa yang luhur.
Baca Juga : Daftar Lowongan Magang Mahasiswa di Berbagai Perusahaan Besar Siap Kamu Lirik!
Seiring berjalannya waktu, Keraton Surakarta tetap menjadi bagian penting dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia. Kisah pemindahan dari Kartasura ke Surakarta adalah salah satu bukti bahwa dalam setiap keruntuhan selalu ada peluang untuk bangkit dan memulai yang baru. Bangunan keraton yang berdiri megah hingga kini bukan hanya menjadi saksi bisu perjalanan masa lalu, tetapi juga pengingat akan pentingnya kebijakan, spiritualitas, dan keberanian dalam mengambil keputusan besar.
Kini, Keraton Surakarta menjadi tempat yang tidak hanya dikunjungi karena keindahannya, tetapi juga karena nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalamnya. Dengan memahami latar belakang dan alasan pemindahan keraton ini, kita jadi lebih menghargai warisan budaya yang dimiliki bangsa ini. Semoga kisah kejayaan Keraton Surakarta terus hidup di hati masyarakat dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang untuk menjaga serta melestarikan budaya leluhur dengan penuh kebanggaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Komunitas Aneka Jateng